Jumat, 21 Maret 2014

UNSUR-UNSUR FILSAFAT SEJARAH DALAM PEMIKIRAN R.NG. RONGGOWARSITO



UNSUR-UNSUR FILSAFAT SEJARAH DALAM PEMIKIRAN
R.NG. RONGGOWARSITO
Dian Widiyanarko
Abstract: Ronggowarsito is one of Indonesian’s philosophers who has inheritated so many principles of philosophy. One of them is the philosophy of history, which he has written in his several works such as Paramayoga, Pustakaraja Purwa, Kalatidha, Sabda Jati, etc. this paper will explore the elements of philosophy of history in Ronggowarsito’s thought and compare it with modern thought about philosophy of history, especialy with western philosophy. From this exploration and comparation we will know Ronggowarsito ’ s thought about philosophy of history.
Kata kunci: Ronggowarsito, Filsafat Sejarah, Zaman Edan, Paramayoga, Sinkretisme, Ramalan.
Tidak diragukan lagi, Ronggowarsito adalah pujangga sekaligus filsuf Nusantara -khususnya Jawa- yang paling besar, terkenal, dan berpengaruh cukup luas, serta banyak dipelajari dan diminati sarjana atau ilmuwan baik dari dalam maupun luar negeri. Dalam tradisi kepustakakan Jawa, Ronggowarsito dianggap sebagai pujangga penutup atau pujangga terakhir, sebab setelah kematiannya tidak ada lagi seorang pujangga, dan meskipun sekarang banyak orang yang menulis karya-karya berbahasa Jawa, tetapi mereka bukanlah pujangga tetapi hanyalah penulis saja1. Bahkan Presiden Soekarno menyebut Ronggowarsito sebagai “Pujangga Rakyat”2.
Pembahasan dan tema dalam karya-karyanya pun bermacam-macam dan cukup kaya. Akan tetapi, selama ini pembahasan yang ada mengenai Ronggowarsito hanya terbatas menyangkut aspek kesusastraan, moralitas, atau ajaran mistiknya saja, padahal masih banyak hal-hal lain yang bisa digali dari karya-karya pujangga besar tersebut, misalnya pemikirannya tentang filsafat sejarah, yang sejauh ini belum banyak, bahkan belum pernah dibahas oleh para sarjana atau ilmuwan yang tertarik dengan pemikiran pujangga tersebut..
Memang selama ini kalau kita berbicara mengenai filsafat sejarah, yang muncul pasti melulu filsuf atau ilmuwan sejarah Barat seperti Hegel, Marx, Toynbee, atau dari filsuf Islam seperti Ibnu Khaldun -yang cukup berpengaruh bagi sejarawan Barat-, dan lain sebagainya. Padahal filsuf lokal kita seperti Ronggowarsito atau Jayabaya juga banyak menelurkan gagasannya mengenai filsafat sejarah, tetapi kurang begitu nampak karena kurangnya perhatian dan penggalian dari para ilmuwan atau pun para sarjana, tak terkecuali sarjana dan ilmuwan kita sendiri.
Oleh karena itu, di sini saya bermaksud untuk menggali lebih lanjaut pemikiran kefilsafatan Ronggowarsito khususnya mengenai filsafat sejarahnya. Mengingat kurangnya upaya bidang tersebut dan untuk menambah wawasan kita
Dian W adalah Pemerhati FilsafatJawa, kuliah program swadaya filsafat UGM.


mengenai pemikiran-pemikiran filsuf dari negeri kita sendiri, agar kita tidak selalu berkiblat ke Barat, sementara sebenarnya kita sendiri mempunyai kearifan lokal atau local genius yang tak kalah dengan yang dari Barat. Apalagi akhir­akhir ini wacana penggalian local genius sedang marak-maraknya diperbincangkan, dan oleh karena itu, pembahasan mengenai filsafat sejarahnya Ronggowarsito akan menjadi sangat menarik dan signifikan.
RIWAYAT SINGKAT RONGGOWARSITO

Nama lengkap Ronggowarsito adalah Raden Ngabehi Ronggowarsito. Menurut Serat Babad Caritos Lalampahipun Swargi Raden Ngabehi Ranggawarsito, ia dilahirkan pada 10 Dulhijah tahun Jawa 1728 atau pada perhitungan Masehi tahun 18023, dengan nama Raden Bagus Burhan, sedangkan nama Raden Ngabehi Ronggowarsito adalah nama atau gelarnya ketika ia menjadi pujangga keraton. Ayahnya bernama R.T. Sartono Goroputra, putra dari Raden Ngabehi Yosodipuro II, sejak kecil ia sudah akrab dengan sastra-sastra Jawa karena ia diasuh oleh kakeknya4. Darah pujangga memang telah melekat kuat pada Ronggowarsito, selain cucuYosodipuro II, ia juga cucu buyut Yasodipuro I, dan ketiganya (Yosodipuro I, Yosodipuro II, dan Ronggowarsito) adalah pujangga istana Surakarta yang memainkan peranan utama dalam masa kebangkitan rohani dan pembaruan kepustakaan Jawa5.
Ketika masih muda Ronggowarsito banyak mengembara mencari ilmu, di antaranya adalah menjadi santri di pondok pesantren Tegal Sari Ponorogo. Ia diasuh oleh guru agama kenamaan yaitu Kiai Ageng Kasan Besari, yang selain ahli agama juga merupakan ahli kebetinan dan masih berdarah priyayi6. Setelah itu, ia meneruskan pengembaraannya mencari ilmu di pulau Jawa, ke tanah seberang, dan kabarnya juga sampai ke tanah India dan Sailan7. Pengalaman di pesantren Tegal Sari rupanya sangat mempengaruhi kehidupan Ronggowarsito, dan memang kemudian Ranggawarsito memilih meninggalkan kehidupan mudanya yang penuh kenakalan untuk menjalani peningkatan kemampuan rohaninya dengan melakukan mesu budi8.
Sesudah kakeknya wafat, Ronggowarsito diangkat menjadi pujangga keraton menggantikan kakeknya, dari sinilah karirnya sebagai pujangga keraton dimulai. Ronggowarsito hidup di zaman Sri Mangkunegoro IV, sastrawan­penyair yang juga banyak pengaruhnya. Sebagai pujangga yang terkenal Ronggowarsito juga memiliki murid-murid orang asing, yang terdiri dari pegawai bahasa di Surakarta seperti C.F. Winter, J.F.C. Grricke, dan Dr. Falmer Van Den Broug. Mereka belajar banyak tentang bahasa dan kesusastraan Jawa kepada Ronggowarsito, dan sebaliknya Ronggowarsito juga banyak belajar kesusastraan Barat dari mereka9.
Selama menjadi pujangga atau selama hidupnya, Ronggowarsito telah banyak menghasilkan karya-karya yang tidak hanya bersifat kesusastraan saja, tetapi juga mengandung unsur hukum, ekonomi, filsafat, sejarah, kebatinan, kemasyarakatan, ramalan, dongang-dongang, dan lain sebagainya10. Oleh karena itu, Ronggowarsito bukan hanya berperan sebagai pujangga saja dalam hidupnya, tetapi ia juga seorang filsuf, apalagi karya-karyanya yang berbau filsafat atau


ajaran kefilsafatannya menyebar luas dan menjadi pegangan hidup di kalangan masyarakat Jawa, bahkan hingga saat ini.
Ronggowarsito wafat pada tahun1873 M, tepatnya pada tanggal 24 Desember, dalam usia 71 tahun, dan dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Setelah mengalami penderitaan batin di masa tuanya karena kurangnya perhatian dari pihak istana11. Delapan hari sebelum meninggal Ronggowarsito mengarang Sabda Jati yang berisi ramalan kematiannya delapan hari lagi di akhir bait karya tersebut.
Ada dua pendapat tentang ramalan kematiannya sendiri dalam Sabda Jati tersebut, pertama, itu karena Ronggowarsito memiliki kemampuan melihat ke masa depan, dan pendapat kedua mengatakan bahwa Ronggowarsito mengetahui hari kematiannya sendiri karena ia dihukum mati, pendapat kedua ini diperkuat dengan asumsi mengenai hubungan buruk yang terjadi antara Ronggowarsito dengan pihak Istana serta dengan pihak Belanda12. Dengan mengesampingkan dua pendapat tersebut, memang benar Ronggowarsito wafat delapan hari setelah menulis Sabda Jati.
UNSUR FILSAFAT SEJARAH DALAM KARYA-KARYA RONGGO­WARSITO

Memang Ranggawarsito dalam karya-karyanya tidak secara langsung atau secara spesifik membahas filsafat sejarah seperti filsuf-filsuf Barat atau filsuf­filsuf lainnya13, tetapi kalau kita cermati lebih lanjut karya-karyanya seperti Serat Paramayoga, Serat Pustakaraja Purwa, Serat Sabda Jati, Serat Sabdatama, Serat Jaka Lodhang, Serat Wedharaga, atau Serat Kalatida14, di sana tampak begitu kentalnya muatan filsafat sejarah Ronggowarsito. Seperti halnya pujangga Jawa lainnya, dalam menulis tentang sejarah Ronggowarsito banyak menulis mengenai sejarah raja-raja atau orang-orang besar. Mungkin Ronggowarsito termasuk dalam golongan yang berpendapat bahwa sejarah adalah sejarah raja- raj a15.
Selain itu Ronggowarsito juga banyak menuliskan ramalan-ramalan sejarah atau jangka, seperti pujangga dan raja yang terkenal dengan ramalan atau jangka­nya yaitu Jayabaya. Memang kebanyakan pujangga Jawa dalam menulis sejarahnya biasanya mereka juga membuat prediksi, mereka memang melihat sejarah bukan semata-mata melihat masa lalu saja, tetapi juga melihat jauh ke masa depan. Dan hal itu sejalan dengan pendapat modern yang mengatakan bahwa masa lalu yang kita pelajari melalui sejarah, akan bermakna jika berguna atau bermanfaat bagi masa depan.
Dari sana banyak kalangan yang kemudian juga menggolongkan Ronggowarsito sebagai seorang futurolog, dan filsafat sejarahnya pun bisa juga digolongkan sebagai filsafat sejarah spekulatif. Bahkan menurut riwayat sebagaimana telah dibahas di atas, Ronggowarsito bisa memprediksi saat atau waktu kematiannya sendiri, yang ia tuangkan dalam karyanya Sabda Jati yang ditulisnya delapan hari sebelum kematiannya. Dan bait terakhir Sabda Jati yang berisi tentang ramalan kematiaannya sendiri tersebut, adalah sebagai berikut:


pandulune ki Pudjangga dereng kemput, mulur lir benang tinarik, nanging
kaserang ing umur, andungkup kasidan djati, mulih sedjatining enggon. Amung kurang wolung ari kang kadulu, emating pati patitis, wus katon neng lohilmahpul, angumpul ing madya ari, amarengi ri Buda Pon.
Tanggal kaping lima antaraning luhur, selaning taun Djimakir, Tolu Uma Arjang Djagur, Sengara winduning pati, netepi ngumpul saenggon.
Tjinitra ri Buda kaping wolulikur, sawal ing taun Djimakir, tjandraning warsa pinetung, Nembah Muksa Pudjangga Dji, Ki pudjangga amit layon
Terdjemahannja:
Panglihatan sang pudjangga belum habis, memandjang seperti benang ditarik, tetapi terserang oleh umur, hampir sampailah kelepasanja jang sedjati (wafat), pulang ketempat jang sebenarnja.
Hanja kurang delapan hari jang terlihat, akan nikmatnja pati jang tepat, telah tampak dalam lauhil ma’fuz, perhitungannja berkumpul ditengah hari, djatuh pada hari Rebo Pon.
Tanggal lima antaranja waktu dhuhur, bulan ”sela” (Dulka’idah) didalam tahun djimakir, wuku: Tolu, Padewan: Uma, paringkelan : Arjang, Sangawara: Djagur, windu sangara itulah saat meninggalnja, perhitungan­perhitungan itu terkumpul mendjadi satu.
Tertulis hari Rebo tanggal duapuluh delapan, sawal tahun Djimakir, angka tahunja terhitung, Bersembah-pamit mati pujangga Radja (sangkalan jang bermaksud: tahun 1802 Djawa), ki pudjangga pamit mati ”16.
Dan sesuai yang diramalkannya Ronggowarsito meninggal delapan hari kemudian, tepatnya pada tanggal 24 Desember 1873 dalam usia 71 tahun. Tetapi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada juga yang berpendapat bahwa ia mengetahui hari kematiannya karena dihukum mati disebabkan permusuhannya dengan raja yang berkuasa dan pemerintahan Belanda17.
Kemampuan memprediksi seperti itu memang harus dimiliki seorang pujangga seperti Ronggowarsito, karena sebagai pujangga ia tidak hanya bertugas sebagai seorang penulis tetapi ia juga harus memiliki kemampuan dan otoritas menangani persoalan-persoalan dunia spiritual, para pujanggapun kadangkala juga disebut sebagai nujum istana. Dalam ekspresi aslinya, pujangga seperti Ronggowarsito juga harus memiliki kemampuan sambegana, kecerdasan dan daya ingat kuat, serta nawangkrida, kemampuan menangkap dan memahami tanda-tanda alam ataupun zaman yang tidak diketahui oleh orang awam18.
Dalam pemikiran Ronggowarsito terlihat sekali begitu kentalnya unsur sinkretisme antara ajaran Islam dan ajaran Hindu-Budha. Hal itu bisa kita lihat pada karya-karya mistik atau tasawufnya seperti Serat Wirid Hidayat Jati atau karya sejarahnya seperti Paramayoga. Maka dalam penulisan sejarahnya kita juga akan banyak menemui mitos-mitos pewayangan, dewa-dewa Hindu, juga kepercayaan Jawa lainnya yang bercampur dengan sejarah manusia menurut ajaran Islam. Untuk lebih jelasnya mengenai filsafat sejarah Ronggowarsito saya akan menjabarkannya dengan mengacu pada beberapa karya utamanya.
PARAMAYOGA: MITOS SEJARAH ORANG JAWA

Karya Ronggowarsito yang mengandung unsur filsafat sejarah salah satunya adalah Paramayoga. Paramayoga adalah semacam roman sejarah, dan tidak seperti karya-karya Ronggowarsito yang lainnya yang ditulis dengan
menggunakan sekar macapat, Paramayoga ditulis dalam bentuk gancaran atau pro sa19. Paramayoga adalah pendahuluan sebelum Serat Pustakaraja Purwa, dan bahasannya akan dilanjutkan atau bersambung ke Serat Pustakaraja Purwa. Dari karya-karyanya tersebut, filsafat sejarah Ronggowarsito dapat kita ketahui atau kita gali.
Kata Paramayoga sendiri berasal dari bahasa Jawa kuno, di mana parama artinya ‘yang utama, tertinggi, terbaik, teristimewa, termulia’, dan sebagainya yang mengandung serba paling. Selain itu, kata ini juga mengandung arti ‘kepala’, ‘pertama’, atau ‘sangat’, sedangkan yoga berarti ‘samadhi, terpekur, mengheningkan cipta, merenung, gaib, sihir, pertama’, dan sebagainya, selain juga bermakna ‘anak, juga perbintangan atau nujum’20. Oleh karena itu, Paramayoga kira-kira berarti samadhi tertinggi atau ekstase, tetapi lebih tepat diartikan sebagai sebuah renungan utama/renungan istimewa, karena isi buku tersebut memuat perenungan tentang eksistensi manusia dan kemanusiaan yang pertama, yakni kehidupan Nabi Adam21.
Bagi kita yang hidup di zaman sekarang ini, konsep asal-usul manusia Jawa yang dijabarkan Ronggowarsito dalam Paramayoga akan tampak sebagai mitos, atau paling tidak sebuah pencampuradukan beberapa kepercayaan yang sampai sekarang juga masih kita anut, yaitu Islam, Hindu-Budha dan Jawa. Atau dengan kata lain, Paramayoga adalah sebuah bentuk sinkretisme yang sangat wajar untuk konteks zaman Ronggowarsito. Dan bagi masyarakat di zaman tersebut Paramayoga adalah sebuah sumber sejarah terpercaya tentang asal-usul manusia Jawa, dan tidak tampak sebagai sebuah mitos sebagaimana dilihat oleh orang zaman sekarang.
Memang di dalam Paramayoga terlihat adanya sinkretisme antara ajaran Hindu-Budha, Islam, dan kepercayaan Jawa, yang dikemas sedemikian rupa oleh Ronggowarsito sehingga menjadi sebuah naskah kesejarahan yang memberikan informasi mengenai asal-usul manusia Jawa. Mengenai sinkretisme tersebut Otto Sukatno Cr. mengatakan sebagai berikut:
“Hemat saya, buku Paramayoga mencerminkan sebuah model dari adanya bentuk sinkretisme yang paling pas dan harmonis antara ajaran teologi Islam, Hindu-Budha, dan Jawa. Karena sebagaimana yang diperkirakan oleh prof. Dr. Ng. Poerbatjaraka, Sang Hyang At-Hama untuk sebutan Nabi Adam, sangat dekat atau diperkirakan sebagai usaha pendekatan penulisannya terhadap konsepsi Atman dalam teologi Hindu, yang merupakan intisari eksistensi kemanusiaan, yang membedakannya dengan Brahman (Ketuhanan)”22.
Di sinilah peranan Ronggowarsito sebagai filsuf sejarah nampak dengan jelas. Ia merumuskan sejarah berdasarkan apa yang ada di dalam alam pikirannya, yang memang terbangun oleh sinkretisme tersebut. Langkah Ronggowarsito dalam menyusun sejarah ini sejalan dengan pendapat R.G.Collingwood, bahwa kita bisa menghadirkan kembali sejarah atau masa lalu di alam pikiran atau batin kita (re-enactment of the past)23.
Collingwood juga mengatakan bahwa pemikiran sejarah tidak diragukan lagi sejalan atau sama dengan persepsi24. Ia menjelaskan behwa penulisan sejarah tergantung bagaimana seorang sejarawan memandang atau mempersepsikan sesuatu atau seseorang di masa lalu yang menjadi kajiannya, misalnya bagaimana sang sejarawan mempersepsikan Ratu Elisabeth, sebuah perang, dan lain sebagainya. Collingwood juga menegaskan bahwa, yang esensial dalam sejarah adalah memori dan otoritas25. Ia juga mengatakan bahwa sejarawan menulis berdasarkan common sense theory dan mengolah kembali berdasarkan yang didapatkannya dari otoritas, seperti seorang pelukis yang melukiskan kembali sebuah pemandangan alam26.
Dari pandangan-pandangan Collingwood tersebut, semakin jelas posisi Ronggowarsito sebagai seorang sejarawan, dan bagaimana ia menulis sejarah juga sesuai dengan pendapat modern –dalam hal ini Collingwood- tentang filsafat sejarah. Di mana Ronggowarsito mempersepsikan asal-usul manusia Jawa berdasarkan otoritas pengetahuan yang saat itu sedang berlaku yang penuh dengan sinkretisme. Lalu Ronggowarsito menyusun kembali persepsinya tentang masa lalu tersebut ke dalam Serat Paramayoga berdasarkan memorinya, maka jadilah Paramayoga yang merupakan upaya re-enactment of the past yang dilakukan Ronggowarsito.
Pendapat lain mengenai Paramayoga yaitu yang dikemukakan oleh Poerbatjaraka, bahwa isi kitab tersebut merupakan saduran dari isi Serat Kanda yang diperkirakan ditulis oleh eyang buyutnya (Yosodipuro I) yang telah lebih dulu beredar sebelum Paramayoga ada. Kemudian di tangan Ronggowarsito Serat Kanda itu disadur sedemikian rupa dan ceritanya disesuaikan dengan situasi, keadaan zaman, serta beberapa informasi dan pengetahuan yang dipunyai atau didengarkan Ronggowarsito27. Dari situ terlihat bahwa Paramayoga adalah produk filsafat sejarah Ronggowarsito, di mana ia melakukan rekonstruksi atas karya sejarah yang sudah ada dengan disesuaikan dengan pandangan atau pemikiran subjektifnya serta keadaan zamannya.
Ronggowarsito sendiri dalam pembukaan Paramayoga menjelaskan bahwa Paramayoga dirujuk dari beberapa sumber sejarah atau kitab-kitab yang sudah ada sebelumnya. Penjelasan Ronggowarsito tentang itu sebagai berikut:
“Adapun rujukan cerita dalam naskah ini diambil dari kisah yang dimuat dalam Serat Jitapsara karya Begawan Palasara di tanah Hastinapura—yang dinukil dari isi serat Pustaka Darya di mana induknya berada di tanah Hindustan (India). Kisah ini kemudian dipertemukan dengan isi kitab Miladuniren yang induknya berada di Najran (Turki?) serta kitab Salsilatulquyub yang induknya berada di Selan (Srilangka) dan kitab Musarar serta kitab Jus al-Gubet yang induknya berada di Rum (Romawi). Tetapi isi kitab-kitab tersebut hanya dinukil sepanjang ada hubungannya dengan Serat Paramayoga semata. Selain itu, dinukil juga berbagai hikayat dan riwayat yang sudah tersebar di masyarakat luas. kemudian diturunkan dengan hitungan tahun Matahari dan tahun Bulan”28.
Penjelasan tersebut semakin menegaskan bahwa Ronggowarsito berusaha membuat karya sejarah dengan merekonstruksi dan mengkomparasikan karya‑
karya atau literatur sejarah yang telah ada. Ia juga sengaja mengumpulkan literatur sejarah dari seluruh belahan dunia untuk memperkuat karyanya tersebut, atau itu dilakukannya agar konsep sejarahnya bersifat universal. Maka tak diragukan lagi bahwa Paramayoga adalah karya filsafat yang cukup penting dan mengandung unsur-unsur filsafat sejarah dari Ronggowarsito, walau bagi orang­orang sekarang tampak sebagai sebuah mitologi atau cerita mitos tentang asal­usul manusia Jawa.
ZAMAN EDAN DAN PERIODISASI SEJARAH

Dalam berbicara mengenai sejarah, Ronggowarsito juga membagi periode zaman atau kala menjadi beberapa bagian berdasarkan sifat-sifatnya, misalnya kalabendhu, kalasuba, juga kalatidha. Kalatidha juga menjadi nama salah satu karya besarnya yang terkenal karena konsep atau ramalannya tentang datangnya Zaman Edan, yang terletak pada bait ke-7 buku tersebut.
Periodisasi-periodisasi dalam sejarah memang lazim dilakukan, biasanya dengan memberi nama pada periode tertentu dengan nama-nama yang mengingatkan akan peristiwa atau periode tersebut. Misalnya, Revolusi Perancis, Revolusi Industri, Zaman Pertengahan, Renaisans, Zaman Modern, dan lain sebagainya, yang justru akan lebih mudah dikenal daripada kalau kita hanya menyebut tahunnya saja. Dengan kata lain, periodisasi tersebuat akan membantu sejarawan dalam memahami masa silam, selain itu juga berguna untuk menunjukkan garis peralihan dari periode satu ke periode yang lainnya29.
Periodisasi menurut Huizinga juga harus luwes, jangan kaku atau dogmatis30. Demikian pula yang dilakukan oleh Ronggowarsito, ia juga membuat periodisasi dengan menggunakan istilah-istilahnya sendiri seperti Kalatidha atau Zaman Cacat, Kalasuba atau Zaman Indah/baik, Kalabendhu atau Zaman Kemarahan, Zaman Edan, dan lain sebagainnya, yang ia golongkan berdasarkan keadaan atau suasana zaman tersebut.
Zaman-zaman atau Kala-kala tersebut, terutama Zaman Edan, dipercaya akan datang sesuai ramalan Ronggowarsito, karena memang dia adalah seorang pujangga yang bisa meramal atau memprediksi masa depan, serta prediksinya terbukti banyak yang tepat. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Zaman Edan adalah sebuah refleksi atas kondisi di zamannya yang penuh penindasan dan keterpurukan. Gambaran Ronggowarsito tentang Zaman Edan yang terdapat pada bait ke-7 dalam Serat Kalatidha adalah sebagai berikut:
“Amenangi Zaman Edan, Ewuh aja ing pambudi, Melu edan ora tahan,
Jen tan milu anglakoni, Boja kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Dilalah karsa Allah, Begja-begjane kang lali,
Luwih begja kang eling lawan waspada.
Terjemahannya: Mengalami Zaman Gila,


Sukar sulit (dalam) akal ikhtiar,
Turut gila tidak tahan,
Kalau tak turut menjalaninya,
Tidak kebagian milik, Kelaparanlah akhirnya, Takdir kehendak Allah, Sebahagia-bahagianya yang lupa,
Lebih bahagia yang sadar serta waspada.”31
Konsep Zaman Edan di mana kondisinya seperti yang digambarkan oleh Ronggowarsito di atas, memang telah begitu dikenal oleh masyarakat Jawa, dan mereka percaya bahwa zaman atau masa itu akan datang. Selain itu, masyarakat Jawa juga mengenal konsep eling atau ingat, dan waspada atau waspada, sebagai pelindung diri menghadapi Zaman Edan, biar tidak ikutan edan, seperti yang diajarkan Ronggowarsito. Terutama dua kalimat terakhir dari bait tersebut yang banyak dicamkan orang Jawa sebagai falsafah hidup.
Selanjutnya, ada yang berpendapat bahwa ramalan Ronggowarsito tentang Zaman Edan tersebut telah terbukti di masa Orde Baru, pendapat ini dikemukakan oleh Soesilo (1999) dengan mengkomparasikan ramalan atau jangka Ronggowarsito dengan kondisi kehidupan di zaman Orde Baru. Tetapi ada pula para ahli yang berpendapat bahwa Zaman Edan adalah refleksi atas kondisi kehidupan di zaman Ronggowarsito, di mana saat itu kondisi kehidupan sangatlah terpuruk akibat penjajahan Belanda.
Selain Serat Kalatidha dengan Zaman Edannya, ada lagi beberapa karya Ronggowarsito yang juga berisi ramalan atau prediksi futurologis. Misalnya, Serat Jaka Lodang yang meramalkan kedatangan Ratu Adil pada tahun Jawa 1850 atau 1920M (yang dimaksud sebenarnya adalah Pangeran Diponegoro), Serat Sabda Jati yang terkenal karena ramalannya atas kematiannya sendiri, Serat Sabdatama yang berisi petuah hidup di Zaman Kalabendu, serta ramalan akan datangnya Zaman Kalasuba32, dan lain sebagainya. Seperti yang telah disinggung di muka, semua karya Ronggowarsito tersebut memang sangat kental unsur filsafat sejarahnya termasuk periodisasi yang dilakukan Ronggowarsito dengan zaman-zaman atau kala-kala-nya tersebut.
Sebagai penutup, kalaupun harus digolongkan atau dinamai jenis filsafat sejarahnya, seperti halnya Marx yang menamai konsep atau filsafat sejarahnya Materialisme Mistoris, juga Hegel dengan sejarah bangsanya. Ronggowarsito mungkin termasuk filsuf yang selain membuat konsep atau filsafat sejarah yang futurologis -dengan ramalan-ramalan sejarahnya-, juga termasuk filsuf yang banyak memasukkan unsur mistik ke dalam karya sejarahnya. Maka tidaklah berlebihan jika saya kemudian menamai filsafat sejarahnya Ronggowarsito sebagai “Mistisisme Historis”, seperti halnya Marx yang menamai konsepnya dengan Materialisme Historis, dengan pertimbangan banyaknya muatan-muatan mistik yang mendasari setiap karyanya, termasuk yang tentang sejarah.
Perbincangan atau pembahasan mengenai Ronggowarsito seperti di atas, memang belum final, sebab masih banyak yang bisa dan perlu digali dari pemikiran Ronggowarsito, terutama yang menyangkut masalah filsafat, khususnya filsafat sejarah. Tentu saja dengan pendekatan yang lebih mendalam,


Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36, Nomor 1
kajian yang lebih serius, tuntas, sumber yang memadai, waktu yang cukup, dan lain sebagainya. Memang kajian saya ini masih jauh dari hal tersebut, tetapi semoga apa yang saya lakukan ini mengawali langkah atau sebuah pengantar untuk menuju ke sana. Sejalan dengan papatah Cina yang kurang lebih mengatakan bahwa: “perjalanan sepuluh ribu li harus diawali dengan satu langkah”.
DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit, F.R., 1987, Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Collingwood, R.G., 1959, “The Historical Imagination”. Dalam The Philosophy of History in Our Time: An Anthology Selected and With an Introduction and Commentary by Hans Meyerhoff. New York: Doubleday Anchor Books.
Hegel, G.W.F., 2001, Filsafat Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ibnu Khaldun, 2001, Muqaddimah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Kamadjaja, 1964, Zaman Edan: Suatu Studi tentang Buku Kalatida dari R..Ng. Ranggawarsita. Yogyakarta: U.P. Indonesia.
Ronggowarsito, R.Ng., 1997, Wirid Hidayat Jati. Semarang: Dahara Prize.
Ronggowarsito, R.Ng., 1998, Zaman Edan (asli: Kalatidha, Sabda Jati, Sabdatama, Jaka Lodhang, Wedharaga) . Yogyakarta: Bentang.
Ronggowarsito, R.Ng., 2001, Paramayoga: Mitos Asal-usul Manusia Jawa (asli: Paramayoga). Yogyakarta: Bentang.
Soekarno, 1953, ”Ranggawarsita adalah Pudjangga Rakjat”. Pidato pada peresmian patung Ranggawarsita di Solo, 11 November 1953. Dalam Kamadjaja. 1964. Zaman Edan: Suatu Studi tentang Buku Kalatida dari R. .Ng. Ranggawars ita. Yogyakarta: U.P. Indonesia.
Soesilo, 1999, Renungan Ramalan Jayabaya Ranggawarsito, Zaman Edan: Refleksi Pemerintahan Orde Baru Selama 32 Tahun Berkuasa. Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik GUNTUR 49.
Simuh, 1995, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang.
Yamin, Muhammad, 1953, “Djasa dan Sumbangan Pudjangga Ranggawarsita”. Pidato pada peresmian patung pujangga Ranggawarsita di Solo, 11 November 1953. Dalam Kamadjaja. 1964. Zaman Edan: Suatu Studi tentang Buku Kalatida dari R..Ng. Ranggawarsita. Yogyakarta: U.P. Indonesia.
1 Lihat pengantar Ahmad Norma dalam R.Ng. Ronggowarsito. 1998. Zaman Edan. Yogyakarta: Bentang. hal.v.
2 lihat naskah pidato Soekarno. 1953. “Ranggawarsita adalah Pudjangga Rakjat”. Pada peresmian patung Ranggawarsita di Solo, 11 November 1953. Dalam Kamadjaja. 1964. Zaman Edan: Suatu Studi tentang Buku Kalatida dari R..Ng. Ranggawarsita. Yogyakarta: U.P. Indonesia.


3 Muhammad Yamin. 1953. “Djasa dan Sumbangan Pudjangga Ranggawarsita”. Pidato pada peresmian patung pujangga Ranggawarsita di Solo, 11 November 1953. Dalam Kamadjaja. 1964. Zaman Edan: Suatu Studi tentang Buku Kalatida dari R..Ng. Ranggawarsita. Yogyakarta: U.P. Indonesia. hal. 23.
4 Soesilo. 1999. Renungan Ramalan Jayabaya Ranggawarsito, Zaman Edan: Refleksi Pemerintahan Orde Baru Selama 32 Tahun Berkuasa. Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik GUNTUR 49. hal. 15
5 Simuh. 1995. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang. hal. 185.
6 Ibid. hal. 186.
7 Muhammad Yamin. Op.cit. hal. 25.
8 Ibid. hal. 187.
9 Soesilo. op.cit. hal. 15.
10 Ibid. hal. 16.
11 Simuh. op.cit. hal. 188.
12 Ahmad Norma. op.cit. hal.xiv.
13 Misalnya Hegel dengan karyanya Filsafat Sejarah (The Philosophy of History), atau Toynbee dengan A Study of History-nya, juga Ibnu Khaldun dengan Muqaddimah, dan lain sebagainya.
14 Lima yang terakhir (kalatidha, sabda jati, sabdatama, jaka lodhang, wedharaga) diterbitkan bersama dalam edisi Bahasa Indonesia oleh Bentang (1998) dengan judul Zaman Edan.
15 Pendapat tentang sejarah yang lainnya misalnya Collingwood: sejarah adalah sejarah alam pikiran, Croce: sejarah adalah sejarah peradaban, Marx: sejarah adalah sejarah pertentangan/perjuangan kelas, atau Hegel: sejarah adalah sejarah bangsa-bangsa, dan lain sebagainya.
16 Kamadjaja. 1964. Zaman Edan: Suatu Studi tentang Buku Kalatida dari R..Ng. Ranggawarsita. Yogyakarta: U.P. Indonesia. hal. 89-90.
17 Ahmad Norma. op.cit. hal.xiv.
18 Ibid. hlm.v-vi.
19 Lihat pengantar Otto Sukatno Cr. dalam R.Ng. Ronggowarsito. 2001. Paramayoga: Mitos Asal­usul Manusia Jawa. Yogyakarta: Bentang. hal. vii.
20 L. Mardiwarsito. 1981 dalam Ibid. hal. vii.
21 Ibid. hal. vii-viii.
22 Ibid. hal. ix-x.
23 F.R. Ankersmith. 1987. Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia. hal. 88-89.
24 R.G. Collingwood. 1959. “The Historical Imagination”. Dalam The Philosophy of History in Our Time: An Anthology Selected and With Introduction and Commentary by Hans Meyerhoff. New York: Doubleday Anchor Books. hal. 66. Tulisan Collingwood dalam antologi tersebut diambil dari bukunya: The Idea of History.
25 Ibid. hal. 66.
26 Ibid. hal. 71.
27 Poerbatjaraka. 1952. Dalam Ibid. hlm. x.
28 R.Ng. Ronggowarsito. 2001. Op.cit. hal. 1-2.
29 F.R. Ankersmith. Op.cit. hal. 240.
30 Ibid. hal. 241.
31 Lihat Soesilo. op.cit. hal. 36-37. Dan R.Ng. Ronggowarsito. 1998. Zaman Edan. Yogyakarta: Bentang. hal. 10.
32 Soesilo. op.cit. hal. 17.

Download

Tidak ada komentar: