UNSUR-UNSUR FILSAFAT SEJARAH DALAM PEMIKIRAN
R.NG. RONGGOWARSITO
Dian Widiyanarko
R.NG. RONGGOWARSITO
Dian Widiyanarko
Abstract: Ronggowarsito is one of Indonesian’s philosophers who has inheritated so many principles of philosophy. One of them
is the philosophy of history, which he has written in his several works such as Paramayoga, Pustakaraja Purwa, Kalatidha, Sabda Jati, etc. this paper will explore the elements of philosophy of history in Ronggowarsito’s thought and compare it with modern thought
about philosophy of history, especialy with western philosophy. From this
exploration and comparation we will know Ronggowarsito ’ s thought about philosophy of history.
Kata kunci: Ronggowarsito, Filsafat Sejarah,
Zaman Edan, Paramayoga, Sinkretisme, Ramalan.
Tidak diragukan lagi, Ronggowarsito adalah pujangga
sekaligus filsuf Nusantara -khususnya Jawa- yang paling besar,
terkenal, dan berpengaruh cukup luas, serta banyak dipelajari dan diminati
sarjana atau ilmuwan baik dari dalam maupun luar negeri. Dalam
tradisi kepustakakan Jawa, Ronggowarsito dianggap sebagai
pujangga penutup atau pujangga terakhir, sebab setelah kematiannya tidak ada lagi seorang
pujangga, dan meskipun sekarang banyak orang yang menulis karya-karya berbahasa Jawa, tetapi mereka bukanlah pujangga
tetapi hanyalah penulis saja1. Bahkan Presiden Soekarno menyebut Ronggowarsito sebagai “Pujangga Rakyat”2.
Pembahasan dan tema dalam karya-karyanya pun
bermacam-macam dan cukup kaya. Akan tetapi, selama ini pembahasan yang
ada mengenai Ronggowarsito hanya terbatas menyangkut aspek
kesusastraan, moralitas, atau ajaran mistiknya saja, padahal masih banyak hal-hal lain
yang bisa digali dari karya-karya pujangga besar tersebut, misalnya
pemikirannya tentang filsafat sejarah, yang
sejauh ini belum banyak, bahkan belum pernah dibahas oleh para sarjana atau ilmuwan yang tertarik dengan
pemikiran pujangga tersebut..
Memang
selama ini kalau kita berbicara mengenai filsafat sejarah, yang muncul pasti melulu filsuf atau ilmuwan sejarah
Barat seperti Hegel, Marx, Toynbee, atau dari filsuf Islam seperti Ibnu
Khaldun -yang cukup berpengaruh bagi
sejarawan Barat-, dan lain sebagainya. Padahal filsuf lokal kita seperti Ronggowarsito atau Jayabaya juga banyak
menelurkan gagasannya mengenai filsafat sejarah, tetapi kurang begitu nampak
karena kurangnya perhatian dan penggalian
dari para ilmuwan atau pun para sarjana, tak terkecuali sarjana dan ilmuwan
kita sendiri.
Oleh karena itu, di sini saya bermaksud untuk menggali
lebih lanjaut pemikiran kefilsafatan Ronggowarsito khususnya mengenai
filsafat sejarahnya. Mengingat kurangnya upaya bidang tersebut dan untuk
menambah wawasan kita
Dian W adalah Pemerhati
FilsafatJawa, kuliah program swadaya filsafat UGM.
mengenai pemikiran-pemikiran filsuf dari negeri kita
sendiri, agar kita tidak selalu berkiblat ke Barat, sementara
sebenarnya kita sendiri mempunyai kearifan lokal atau local genius
yang tak kalah dengan yang dari Barat. Apalagi akhirakhir ini wacana penggalian local genius sedang marak-maraknya diperbincangkan, dan oleh karena itu, pembahasan
mengenai filsafat sejarahnya Ronggowarsito
akan menjadi sangat menarik dan signifikan.
RIWAYAT SINGKAT RONGGOWARSITO
Nama lengkap Ronggowarsito adalah Raden Ngabehi
Ronggowarsito. Menurut Serat Babad Caritos Lalampahipun Swargi
Raden Ngabehi Ranggawarsito, ia dilahirkan
pada 10 Dulhijah tahun Jawa 1728 atau pada perhitungan
Masehi tahun 18023, dengan nama Raden Bagus Burhan,
sedangkan nama Raden Ngabehi Ronggowarsito adalah nama atau gelarnya
ketika ia menjadi pujangga keraton. Ayahnya bernama R.T. Sartono
Goroputra, putra dari Raden Ngabehi Yosodipuro II, sejak kecil ia sudah akrab dengan
sastra-sastra Jawa karena ia diasuh oleh kakeknya4. Darah pujangga memang telah
melekat kuat pada Ronggowarsito, selain
cucuYosodipuro II, ia juga cucu buyut Yasodipuro
I, dan ketiganya (Yosodipuro I, Yosodipuro II, dan Ronggowarsito) adalah
pujangga istana Surakarta yang memainkan peranan utama dalam masa kebangkitan
rohani dan pembaruan kepustakaan Jawa5.
Ketika masih muda Ronggowarsito
banyak mengembara mencari ilmu, di antaranya adalah menjadi santri di pondok pesantren Tegal
Sari Ponorogo. Ia diasuh oleh guru agama kenamaan yaitu Kiai Ageng Kasan
Besari, yang selain ahli agama juga
merupakan ahli kebetinan dan masih berdarah priyayi6.
Setelah itu, ia meneruskan pengembaraannya mencari ilmu di pulau
Jawa, ke tanah seberang, dan kabarnya juga sampai ke tanah India
dan Sailan7. Pengalaman di pesantren
Tegal Sari rupanya sangat mempengaruhi kehidupan Ronggowarsito, dan
memang kemudian Ranggawarsito memilih meninggalkan kehidupan mudanya
yang penuh kenakalan untuk menjalani peningkatan kemampuan rohaninya
dengan melakukan mesu budi8.
Sesudah kakeknya wafat, Ronggowarsito
diangkat menjadi pujangga keraton menggantikan kakeknya, dari
sinilah karirnya sebagai pujangga keraton dimulai.
Ronggowarsito hidup di zaman Sri Mangkunegoro IV, sastrawanpenyair
yang juga banyak pengaruhnya. Sebagai pujangga yang terkenal Ronggowarsito
juga memiliki murid-murid orang asing, yang terdiri dari pegawai bahasa
di Surakarta seperti C.F. Winter, J.F.C. Grricke, dan Dr. Falmer Van Den Broug.
Mereka belajar banyak tentang bahasa dan kesusastraan Jawa kepada Ronggowarsito,
dan sebaliknya Ronggowarsito juga banyak belajar kesusastraan Barat
dari mereka9.
Selama menjadi pujangga atau selama
hidupnya, Ronggowarsito telah banyak menghasilkan karya-karya yang
tidak hanya bersifat kesusastraan saja, tetapi juga mengandung unsur hukum, ekonomi,
filsafat, sejarah, kebatinan, kemasyarakatan,
ramalan, dongang-dongang, dan lain sebagainya10.
Oleh karena itu, Ronggowarsito bukan hanya berperan sebagai pujangga
saja dalam hidupnya, tetapi ia juga seorang filsuf, apalagi karya-karyanya
yang berbau filsafat atau
ajaran kefilsafatannya menyebar luas dan menjadi pegangan
hidup di kalangan masyarakat Jawa, bahkan hingga saat ini.
Ronggowarsito wafat pada tahun1873 M,
tepatnya pada tanggal 24 Desember, dalam usia 71 tahun, dan dimakamkan di Desa
Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten.
Setelah mengalami penderitaan batin di masa tuanya karena kurangnya perhatian dari pihak istana11.
Delapan hari sebelum meninggal Ronggowarsito mengarang Sabda Jati
yang berisi ramalan kematiannya delapan hari lagi di akhir bait karya tersebut.
Ada dua pendapat tentang ramalan
kematiannya sendiri dalam Sabda Jati tersebut, pertama, itu karena
Ronggowarsito memiliki kemampuan melihat ke masa
depan, dan pendapat kedua mengatakan bahwa Ronggowarsito mengetahui hari kematiannya sendiri karena ia dihukum mati,
pendapat kedua ini diperkuat dengan asumsi mengenai hubungan buruk yang
terjadi antara Ronggowarsito dengan pihak Istana serta dengan pihak Belanda12. Dengan mengesampingkan dua pendapat tersebut, memang benar Ronggowarsito wafat delapan hari
setelah menulis Sabda Jati.
UNSUR FILSAFAT SEJARAH DALAM KARYA-KARYA RONGGOWARSITO
Memang Ranggawarsito dalam
karya-karyanya tidak secara langsung atau secara spesifik membahas filsafat
sejarah seperti filsuf-filsuf Barat atau filsuffilsuf lainnya13, tetapi kalau kita cermati lebih
lanjut karya-karyanya seperti Serat Paramayoga, Serat
Pustakaraja Purwa, Serat Sabda Jati, Serat Sabdatama, Serat
Jaka Lodhang, Serat Wedharaga, atau Serat Kalatida14, di
sana tampak begitu kentalnya muatan filsafat sejarah Ronggowarsito.
Seperti halnya pujangga Jawa lainnya, dalam menulis tentang
sejarah Ronggowarsito banyak menulis mengenai sejarah raja-raja atau orang-orang besar.
Mungkin Ronggowarsito termasuk dalam golongan yang berpendapat bahwa sejarah
adalah sejarah raja- raj a15.
Selain itu Ronggowarsito juga banyak
menuliskan ramalan-ramalan sejarah atau jangka, seperti pujangga dan
raja yang terkenal dengan ramalan atau jangkanya yaitu
Jayabaya. Memang kebanyakan pujangga Jawa dalam menulis sejarahnya
biasanya mereka juga membuat prediksi, mereka memang melihat sejarah bukan semata-mata
melihat masa lalu saja, tetapi juga melihat jauh ke masa depan. Dan hal itu sejalan dengan pendapat modern yang mengatakan bahwa masa lalu yang kita pelajari melalui
sejarah, akan bermakna jika berguna atau bermanfaat bagi masa depan.
Dari sana banyak kalangan yang kemudian
juga menggolongkan Ronggowarsito sebagai seorang futurolog, dan
filsafat sejarahnya pun bisa juga digolongkan sebagai filsafat sejarah
spekulatif. Bahkan menurut riwayat sebagaimana telah dibahas di atas, Ronggowarsito bisa
memprediksi saat atau waktu kematiannya
sendiri, yang ia tuangkan dalam karyanya Sabda Jati yang ditulisnya
delapan hari sebelum kematiannya. Dan bait terakhir Sabda Jati yang berisi tentang ramalan kematiaannya sendiri
tersebut, adalah sebagai berikut:
pandulune ki Pudjangga
dereng kemput, mulur lir benang tinarik, nanging
kaserang ing umur,
andungkup kasidan djati, mulih sedjatining enggon. Amung kurang wolung ari kang kadulu, emating pati patitis, wus katon neng lohilmahpul, angumpul ing madya ari, amarengi
ri Buda Pon.
Tanggal kaping lima antaraning luhur, selaning taun Djimakir, Tolu Uma Arjang Djagur, Sengara winduning pati, netepi ngumpul
saenggon.
Tjinitra ri Buda kaping wolulikur, sawal ing taun Djimakir, tjandraning warsa pinetung, Nembah Muksa Pudjangga Dji, Ki pudjangga
amit layon
Terdjemahannja:
Panglihatan sang pudjangga belum
habis, memandjang seperti benang ditarik, tetapi
terserang oleh umur, hampir sampailah kelepasanja jang sedjati (wafat), pulang ketempat jang sebenarnja.
Hanja kurang delapan
hari jang terlihat, akan nikmatnja pati jang tepat, telah tampak dalam lauhil ma’fuz, perhitungannja berkumpul ditengah hari,
djatuh pada hari Rebo Pon.
Tanggal lima antaranja waktu dhuhur,
bulan ”sela” (Dulka’idah) didalam tahun djimakir, wuku:
Tolu, Padewan: Uma, paringkelan : Arjang, Sangawara: Djagur, windu sangara itulah saat meninggalnja, perhitunganperhitungan itu terkumpul mendjadi satu.
Tertulis hari Rebo tanggal duapuluh
delapan, sawal tahun Djimakir, angka tahunja terhitung, Bersembah-pamit mati
pujangga Radja (sangkalan jang bermaksud: tahun
1802 Djawa), ki pudjangga pamit mati ”16.
Dan sesuai yang diramalkannya
Ronggowarsito meninggal delapan hari kemudian, tepatnya pada
tanggal 24 Desember 1873 dalam usia 71 tahun. Tetapi seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, ada juga yang berpendapat bahwa ia mengetahui
hari kematiannya karena dihukum mati disebabkan permusuhannya dengan
raja yang berkuasa dan pemerintahan Belanda17.
Kemampuan memprediksi seperti itu
memang harus dimiliki seorang pujangga seperti Ronggowarsito,
karena sebagai pujangga ia tidak hanya bertugas sebagai seorang
penulis tetapi ia juga harus memiliki kemampuan dan otoritas menangani
persoalan-persoalan dunia spiritual, para pujanggapun kadangkala juga disebut sebagai nujum
istana. Dalam ekspresi aslinya, pujangga seperti Ronggowarsito juga harus memiliki kemampuan sambegana, kecerdasan
dan daya ingat kuat, serta nawangkrida, kemampuan menangkap dan memahami
tanda-tanda alam ataupun zaman yang
tidak diketahui oleh orang awam18.
Dalam pemikiran Ronggowarsito terlihat sekali begitu
kentalnya unsur sinkretisme antara ajaran Islam dan ajaran Hindu-Budha. Hal itu
bisa kita lihat pada karya-karya mistik
atau tasawufnya seperti Serat Wirid Hidayat Jati atau karya sejarahnya seperti Paramayoga. Maka
dalam penulisan sejarahnya kita juga
akan banyak menemui mitos-mitos pewayangan, dewa-dewa Hindu, juga kepercayaan Jawa lainnya yang bercampur dengan
sejarah manusia menurut ajaran Islam.
Untuk lebih jelasnya mengenai filsafat sejarah Ronggowarsito saya akan
menjabarkannya dengan mengacu pada beberapa karya utamanya.
PARAMAYOGA: MITOS SEJARAH ORANG JAWA
Karya Ronggowarsito yang mengandung unsur filsafat sejarah salah satunya
adalah Paramayoga. Paramayoga adalah semacam roman sejarah, dan tidak
seperti karya-karya Ronggowarsito yang lainnya yang ditulis dengan
menggunakan sekar macapat, Paramayoga
ditulis dalam bentuk gancaran atau pro
sa19. Paramayoga
adalah pendahuluan sebelum Serat Pustakaraja Purwa, dan
bahasannya akan dilanjutkan atau bersambung ke Serat
Pustakaraja Purwa. Dari karya-karyanya tersebut, filsafat sejarah Ronggowarsito
dapat kita ketahui atau kita gali.
Kata Paramayoga sendiri
berasal dari bahasa Jawa kuno, di mana parama artinya ‘yang utama,
tertinggi, terbaik, teristimewa, termulia’, dan sebagainya yang mengandung serba paling. Selain itu, kata ini
juga mengandung arti ‘kepala’,
‘pertama’, atau ‘sangat’, sedangkan yoga
berarti ‘samadhi, terpekur, mengheningkan cipta, merenung, gaib, sihir, pertama’, dan
sebagainya, selain juga bermakna ‘anak, juga
perbintangan atau nujum’20. Oleh karena itu, Paramayoga
kira-kira berarti samadhi tertinggi atau ekstase, tetapi lebih tepat diartikan
sebagai sebuah renungan utama/renungan istimewa, karena isi buku tersebut
memuat perenungan tentang eksistensi manusia dan kemanusiaan yang pertama,
yakni kehidupan Nabi Adam21.
Bagi kita yang hidup di zaman
sekarang ini, konsep asal-usul manusia Jawa yang
dijabarkan Ronggowarsito dalam Paramayoga akan tampak
sebagai mitos, atau paling tidak sebuah pencampuradukan beberapa
kepercayaan yang sampai sekarang juga masih kita anut, yaitu
Islam, Hindu-Budha dan Jawa. Atau dengan kata lain, Paramayoga
adalah sebuah bentuk sinkretisme yang sangat wajar untuk konteks zaman
Ronggowarsito. Dan bagi masyarakat di zaman tersebut Paramayoga adalah
sebuah sumber sejarah terpercaya tentang asal-usul manusia Jawa, dan tidak tampak
sebagai sebuah mitos sebagaimana dilihat oleh orang zaman sekarang.
Memang di dalam Paramayoga
terlihat adanya sinkretisme antara ajaran Hindu-Budha,
Islam, dan kepercayaan Jawa, yang dikemas sedemikian rupa oleh Ronggowarsito
sehingga menjadi sebuah naskah kesejarahan yang memberikan informasi mengenai
asal-usul manusia Jawa. Mengenai sinkretisme tersebut Otto Sukatno
Cr. mengatakan sebagai berikut:
“Hemat saya, buku Paramayoga mencerminkan sebuah
model dari adanya bentuk sinkretisme yang paling
pas dan harmonis antara ajaran teologi Islam, Hindu-Budha, dan Jawa. Karena
sebagaimana yang diperkirakan oleh prof. Dr. Ng.
Poerbatjaraka, Sang Hyang At-Hama untuk sebutan Nabi Adam, sangat dekat atau diperkirakan sebagai usaha pendekatan penulisannya terhadap konsepsi Atman dalam teologi Hindu,
yang merupakan intisari eksistensi kemanusiaan, yang
membedakannya dengan Brahman (Ketuhanan)”22.
Di
sinilah peranan Ronggowarsito sebagai filsuf sejarah nampak dengan jelas. Ia merumuskan sejarah berdasarkan apa yang
ada di dalam alam pikirannya, yang
memang terbangun oleh sinkretisme tersebut. Langkah Ronggowarsito dalam menyusun sejarah ini sejalan dengan
pendapat R.G.Collingwood, bahwa kita
bisa menghadirkan kembali sejarah atau masa lalu di alam pikiran atau batin kita (re-enactment
of the past)23.
Collingwood juga mengatakan bahwa
pemikiran sejarah tidak diragukan lagi sejalan atau sama dengan persepsi24. Ia
menjelaskan behwa penulisan sejarah tergantung bagaimana seorang sejarawan memandang atau
mempersepsikan sesuatu atau seseorang di
masa lalu yang menjadi kajiannya, misalnya bagaimana sang sejarawan mempersepsikan Ratu Elisabeth,
sebuah perang, dan lain sebagainya.
Collingwood juga menegaskan bahwa, yang esensial dalam sejarah adalah memori dan otoritas25. Ia
juga mengatakan bahwa sejarawan menulis berdasarkan common sense
theory dan mengolah kembali berdasarkan yang didapatkannya
dari otoritas, seperti seorang pelukis yang melukiskan kembali sebuah
pemandangan alam26.
Dari pandangan-pandangan Collingwood tersebut, semakin
jelas posisi Ronggowarsito sebagai seorang
sejarawan, dan bagaimana ia menulis sejarah juga sesuai dengan pendapat modern –dalam hal ini Collingwood- tentang
filsafat sejarah. Di mana
Ronggowarsito mempersepsikan asal-usul manusia Jawa berdasarkan otoritas
pengetahuan yang saat itu sedang berlaku yang penuh dengan sinkretisme. Lalu Ronggowarsito menyusun
kembali persepsinya tentang masa lalu
tersebut ke dalam Serat Paramayoga berdasarkan memorinya, maka jadilah Paramayoga yang merupakan upaya re-enactment
of the past yang dilakukan
Ronggowarsito.
Pendapat lain mengenai Paramayoga
yaitu yang dikemukakan oleh Poerbatjaraka, bahwa isi kitab
tersebut merupakan saduran dari isi Serat Kanda yang diperkirakan ditulis oleh
eyang buyutnya (Yosodipuro I) yang telah lebih dulu beredar sebelum Paramayoga ada. Kemudian di tangan
Ronggowarsito Serat Kanda itu disadur sedemikian rupa dan ceritanya
disesuaikan dengan situasi, keadaan
zaman, serta beberapa informasi dan pengetahuan yang dipunyai atau didengarkan Ronggowarsito27.
Dari situ terlihat bahwa Paramayoga adalah produk
filsafat sejarah Ronggowarsito, di mana ia melakukan rekonstruksi atas karya
sejarah yang sudah ada dengan disesuaikan dengan pandangan atau pemikiran
subjektifnya serta keadaan zamannya.
Ronggowarsito sendiri dalam
pembukaan Paramayoga menjelaskan bahwa Paramayoga dirujuk dari beberapa
sumber sejarah atau kitab-kitab yang sudah ada
sebelumnya. Penjelasan Ronggowarsito tentang itu sebagai berikut:
“Adapun rujukan
cerita dalam naskah ini diambil dari kisah yang dimuat dalam Serat Jitapsara karya Begawan Palasara di tanah
Hastinapura—yang dinukil dari isi serat Pustaka
Darya di mana induknya berada di tanah Hindustan (India). Kisah ini kemudian dipertemukan dengan isi kitab Miladuniren yang induknya berada
di Najran (Turki?) serta kitab Salsilatulquyub yang induknya berada di Selan (Srilangka) dan kitab Musarar serta kitab Jus
al-Gubet yang induknya berada di Rum (Romawi). Tetapi isi kitab-kitab tersebut hanya dinukil sepanjang ada hubungannya dengan Serat Paramayoga semata. Selain itu, dinukil
juga berbagai hikayat dan riwayat yang sudah tersebar
di masyarakat luas. kemudian diturunkan dengan
hitungan tahun Matahari dan tahun Bulan”28.
Penjelasan tersebut semakin menegaskan bahwa Ronggowarsito
berusaha membuat karya sejarah dengan merekonstruksi dan
mengkomparasikan karya‑
karya atau literatur sejarah yang telah ada. Ia juga
sengaja mengumpulkan literatur sejarah dari seluruh belahan dunia untuk
memperkuat karyanya tersebut, atau itu dilakukannya agar konsep
sejarahnya bersifat universal. Maka tak diragukan lagi bahwa Paramayoga
adalah karya filsafat yang cukup penting dan mengandung
unsur-unsur filsafat sejarah dari Ronggowarsito, walau bagi orangorang sekarang tampak
sebagai sebuah mitologi atau cerita mitos tentang asalusul manusia Jawa.
ZAMAN EDAN DAN PERIODISASI SEJARAH
Dalam berbicara mengenai sejarah, Ronggowarsito juga
membagi periode zaman atau kala menjadi beberapa bagian berdasarkan
sifat-sifatnya, misalnya kalabendhu, kalasuba,
juga kalatidha. Kalatidha juga menjadi nama salah satu karya
besarnya yang terkenal karena konsep atau ramalannya tentang datangnya Zaman
Edan, yang terletak pada bait ke-7 buku tersebut.
Periodisasi-periodisasi dalam sejarah
memang lazim dilakukan, biasanya dengan memberi nama pada periode
tertentu dengan nama-nama yang mengingatkan akan peristiwa atau
periode tersebut. Misalnya, Revolusi Perancis, Revolusi Industri, Zaman
Pertengahan, Renaisans, Zaman Modern, dan lain sebagainya, yang justru akan
lebih mudah dikenal daripada kalau kita hanya menyebut
tahunnya saja. Dengan kata lain, periodisasi tersebuat akan membantu sejarawan dalam memahami masa silam, selain itu
juga berguna untuk menunjukkan garis
peralihan dari periode satu ke periode yang lainnya29.
Periodisasi menurut Huizinga juga
harus luwes, jangan kaku atau dogmatis30.
Demikian pula yang dilakukan oleh Ronggowarsito, ia juga membuat periodisasi
dengan menggunakan istilah-istilahnya sendiri seperti Kalatidha atau Zaman
Cacat, Kalasuba atau Zaman Indah/baik, Kalabendhu atau Zaman Kemarahan,
Zaman Edan, dan lain sebagainnya, yang ia golongkan berdasarkan keadaan
atau suasana zaman tersebut.
Zaman-zaman atau Kala-kala tersebut, terutama Zaman
Edan, dipercaya akan datang sesuai ramalan
Ronggowarsito, karena memang dia adalah seorang pujangga yang bisa meramal atau memprediksi masa depan, serta
prediksinya terbukti banyak yang
tepat. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Zaman Edan adalah sebuah
refleksi atas kondisi di zamannya yang penuh penindasan dan keterpurukan. Gambaran Ronggowarsito tentang
Zaman Edan yang terdapat pada bait
ke-7 dalam Serat Kalatidha adalah sebagai berikut:
“Amenangi Zaman Edan, Ewuh aja ing pambudi,
Melu edan ora tahan,
Jen tan milu anglakoni, Boja kaduman melik, Kaliren wekasanipun,
Dilalah karsa Allah, Begja-begjane kang
lali,
Luwih begja kang eling lawan waspada.
Terjemahannya: Mengalami Zaman Gila,
Sukar sulit (dalam) akal ikhtiar,
Turut gila tidak tahan,
Kalau tak turut menjalaninya,
Tidak kebagian milik,
Kelaparanlah akhirnya, Takdir kehendak Allah, Sebahagia-bahagianya
yang lupa,
Lebih bahagia yang sadar serta
waspada.”31
Konsep Zaman Edan di mana kondisinya
seperti yang digambarkan oleh Ronggowarsito di atas, memang telah
begitu dikenal oleh masyarakat Jawa, dan mereka percaya bahwa zaman
atau masa itu akan datang. Selain itu, masyarakat Jawa juga
mengenal konsep eling atau ingat, dan waspada atau waspada,
sebagai pelindung diri menghadapi Zaman Edan, biar tidak ikutan
edan, seperti yang diajarkan Ronggowarsito. Terutama dua kalimat
terakhir dari bait tersebut yang banyak dicamkan orang Jawa sebagai
falsafah hidup.
Selanjutnya, ada yang berpendapat
bahwa ramalan Ronggowarsito tentang Zaman Edan tersebut telah terbukti di
masa Orde Baru, pendapat ini dikemukakan oleh Soesilo (1999) dengan
mengkomparasikan ramalan atau jangka Ronggowarsito dengan kondisi kehidupan di zaman Orde
Baru. Tetapi ada pula para ahli yang berpendapat bahwa Zaman Edan adalah
refleksi atas kondisi kehidupan di zaman
Ronggowarsito, di mana saat itu kondisi kehidupan sangatlah terpuruk akibat penjajahan Belanda.
Selain Serat Kalatidha dengan
Zaman Edannya, ada lagi beberapa karya Ronggowarsito yang juga berisi
ramalan atau prediksi futurologis. Misalnya, Serat Jaka Lodang yang
meramalkan kedatangan Ratu Adil pada tahun Jawa 1850 atau 1920M (yang dimaksud
sebenarnya adalah Pangeran Diponegoro), Serat Sabda
Jati yang terkenal karena ramalannya atas kematiannya sendiri,
Serat
Sabdatama
yang berisi petuah hidup di Zaman Kalabendu, serta ramalan akan datangnya Zaman
Kalasuba32, dan lain sebagainya.
Seperti yang telah disinggung di muka,
semua karya Ronggowarsito tersebut memang sangat kental unsur filsafat sejarahnya termasuk periodisasi
yang dilakukan Ronggowarsito dengan
zaman-zaman atau kala-kala-nya tersebut.
Sebagai penutup, kalaupun harus
digolongkan atau dinamai jenis filsafat sejarahnya, seperti halnya
Marx yang menamai konsep atau filsafat sejarahnya Materialisme
Mistoris, juga Hegel dengan sejarah bangsanya. Ronggowarsito mungkin
termasuk filsuf yang selain membuat konsep atau filsafat sejarah yang futurologis
-dengan ramalan-ramalan sejarahnya-, juga termasuk filsuf yang banyak
memasukkan unsur mistik ke dalam karya sejarahnya. Maka tidaklah berlebihan
jika saya kemudian menamai filsafat sejarahnya Ronggowarsito sebagai
“Mistisisme Historis”, seperti halnya Marx yang menamai konsepnya dengan
Materialisme Historis, dengan pertimbangan banyaknya muatan-muatan mistik
yang mendasari setiap karyanya, termasuk yang tentang sejarah.
Perbincangan atau pembahasan mengenai
Ronggowarsito seperti di atas, memang belum final, sebab masih banyak
yang bisa dan perlu digali dari pemikiran Ronggowarsito, terutama
yang menyangkut masalah filsafat, khususnya filsafat sejarah. Tentu
saja dengan pendekatan yang lebih mendalam,
Jurnal Filsafat, April 2004,
Jilid 36, Nomor 1
kajian yang lebih serius, tuntas, sumber yang memadai,
waktu yang cukup, dan lain sebagainya. Memang kajian saya ini masih jauh
dari hal tersebut, tetapi semoga apa yang saya lakukan ini mengawali langkah atau
sebuah pengantar untuk menuju ke sana.
Sejalan dengan papatah Cina yang kurang lebih mengatakan bahwa: “perjalanan sepuluh ribu li harus diawali dengan satu langkah”.
DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit, F.R., 1987, Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat
Modern tentang Filsafat Sejarah. Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Collingwood, R.G.,
1959, “The Historical Imagination”. Dalam The Philosophy of History in Our
Time: An Anthology Selected and With an Introduction and Commentary by Hans Meyerhoff. New York: Doubleday Anchor Books.
Hegel, G.W.F., 2001, Filsafat Sejarah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Ibnu Khaldun, 2001, Muqaddimah.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Kamadjaja, 1964, Zaman Edan: Suatu Studi tentang Buku
Kalatida dari R..Ng. Ranggawarsita. Yogyakarta: U.P. Indonesia.
Ronggowarsito, R.Ng., 1997, Wirid
Hidayat Jati. Semarang: Dahara Prize.
Ronggowarsito, R.Ng., 1998, Zaman Edan (asli: Kalatidha,
Sabda Jati, Sabdatama, Jaka Lodhang, Wedharaga) . Yogyakarta:
Bentang.
Ronggowarsito, R.Ng., 2001, Paramayoga: Mitos Asal-usul
Manusia Jawa (asli: Paramayoga). Yogyakarta: Bentang.
Soekarno, 1953, ”Ranggawarsita adalah Pudjangga Rakjat”. Pidato pada peresmian patung Ranggawarsita di Solo, 11 November 1953. Dalam Kamadjaja. 1964. Zaman Edan: Suatu Studi tentang Buku
Kalatida dari R. .Ng. Ranggawars ita. Yogyakarta: U.P. Indonesia.
Soesilo, 1999, Renungan Ramalan Jayabaya Ranggawarsito, Zaman Edan:
Refleksi Pemerintahan Orde Baru Selama 32 Tahun Berkuasa. Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik GUNTUR 49.
Simuh, 1995, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa.
Yogyakarta: Bentang.
Yamin, Muhammad,
1953, “Djasa dan Sumbangan Pudjangga Ranggawarsita”. Pidato pada peresmian patung pujangga Ranggawarsita di Solo, 11 November 1953. Dalam Kamadjaja. 1964. Zaman Edan: Suatu Studi tentang Buku Kalatida dari R..Ng. Ranggawarsita. Yogyakarta: U.P. Indonesia.
1
Lihat pengantar Ahmad Norma dalam R.Ng. Ronggowarsito. 1998. Zaman
Edan. Yogyakarta: Bentang. hal.v.
2
lihat naskah pidato Soekarno. 1953. “Ranggawarsita adalah Pudjangga Rakjat”.
Pada peresmian patung Ranggawarsita di Solo, 11 November 1953. Dalam
Kamadjaja. 1964. Zaman Edan: Suatu Studi tentang
Buku Kalatida dari R..Ng. Ranggawarsita. Yogyakarta:
U.P. Indonesia.
3 Muhammad
Yamin. 1953. “Djasa dan Sumbangan Pudjangga Ranggawarsita”. Pidato pada peresmian
patung pujangga Ranggawarsita di Solo, 11 November 1953. Dalam Kamadjaja. 1964.
Zaman Edan: Suatu Studi tentang Buku Kalatida dari R..Ng. Ranggawarsita.
Yogyakarta: U.P. Indonesia. hal. 23.
4
Soesilo. 1999. Renungan Ramalan Jayabaya Ranggawarsito, Zaman
Edan: Refleksi Pemerintahan Orde Baru Selama 32 Tahun Berkuasa.
Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik GUNTUR 49. hal. 15
5 Simuh. 1995.
Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa.
Yogyakarta: Bentang. hal. 185.
6 Ibid.
hal. 186.
7
Muhammad Yamin. Op.cit. hal. 25.
8 Ibid.
hal. 187.
9
Soesilo. op.cit. hal. 15.
10 Ibid. hal.
16.
11
Simuh. op.cit. hal. 188.
12 Ahmad
Norma. op.cit. hal.xiv.
13
Misalnya Hegel dengan karyanya Filsafat Sejarah (The
Philosophy of History), atau Toynbee dengan
A Study of History-nya, juga Ibnu Khaldun dengan Muqaddimah, dan
lain sebagainya.
14 Lima
yang terakhir (kalatidha, sabda jati, sabdatama, jaka lodhang,
wedharaga) diterbitkan bersama dalam edisi Bahasa Indonesia
oleh Bentang (1998) dengan judul Zaman Edan.
15
Pendapat tentang sejarah yang lainnya misalnya Collingwood: sejarah adalah
sejarah alam pikiran, Croce: sejarah adalah sejarah peradaban, Marx:
sejarah adalah sejarah pertentangan/perjuangan kelas, atau Hegel: sejarah
adalah sejarah bangsa-bangsa, dan lain sebagainya.
16 Kamadjaja.
1964. Zaman Edan: Suatu Studi tentang Buku Kalatida dari R..Ng.
Ranggawarsita. Yogyakarta: U.P. Indonesia. hal.
89-90.
17 Ahmad
Norma. op.cit. hal.xiv.
18 Ibid.
hlm.v-vi.
19 Lihat
pengantar Otto Sukatno Cr. dalam R.Ng. Ronggowarsito. 2001. Paramayoga:
Mitos Asalusul Manusia Jawa. Yogyakarta:
Bentang. hal. vii.
20 L. Mardiwarsito. 1981 dalam Ibid. hal. vii.
21 Ibid. hal.
vii-viii.
22 Ibid.
hal. ix-x.
23 F.R.
Ankersmith. 1987. Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern
tentang Filsafat Sejarah. Diindonesiakan oleh Dick
Hartoko. Jakarta: Gramedia. hal. 88-89.
24 R.G. Collingwood. 1959. “The
Historical Imagination”. Dalam The Philosophy of History in Our
Time: An Anthology Selected and With Introduction and Commentary by Hans
Meyerhoff. New York: Doubleday Anchor Books. hal. 66. Tulisan
Collingwood dalam antologi tersebut diambil dari bukunya: The
Idea of History.
25 Ibid. hal. 66.
26 Ibid. hal.
71.
27
Poerbatjaraka. 1952. Dalam Ibid. hlm. x.
28 R.Ng.
Ronggowarsito. 2001. Op.cit. hal. 1-2.
29 F.R.
Ankersmith. Op.cit. hal. 240.
30 Ibid. hal. 241.
31 Lihat
Soesilo. op.cit. hal. 36-37. Dan R.Ng.
Ronggowarsito. 1998. Zaman Edan. Yogyakarta: Bentang.
hal. 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar