SEJARAH, FILSAFAT AKSARA DAN KALENDER JAWA
Sejarah Aksara dan Kalender Jawa
selalu terkait. Kalau Kalender Jawa berdasarkan “Sangkan Dumadining
Bawana” atau asal-muasal terciptanya alam semesta (makrokosmos dan
mikrokosmos), sedangkan Aksara Jawa berdasarkan “Sangkan Paraning Dumadi” atau
asal-muasal terjadinya hidup dan kehidupan (SOURCE SPIRIT ALWAYS OF LIFE).
Aksara Jawa pertama kali diciptakan atau diperkenalkan oleh Mpu Hubayun
pada tahun ± 911 SM (Sebelum Masehi). Dalam perjalanan sejarah pada tahun 50 SM
(Sebelum Masehi) Prabu Sri Maha Punggung I atau Ki Ajar Padang I mengadakan
perubahan pada Haksara dan sastra Jawa.
Bertepatan tanggal 21 Juni 77 M oleh Prabu Ajisaka atau Prabu Sri Maha Punggung III melakukan kembali perubahan aksara dan kalender Jawa, dalam budaya Jawa ketika menghitung selalu dimulai dari angka nol (Das), sehingga Kalender Jawa kembali bermulai pada tanggal 1 Badrawarna (Suro) tahun Sri Harsa, Windu Kuntara adalah tanggal 1, Bulan 1, Tahun 1, Windu 1 tepat pada hari Radite Kasih (Minggu Kliwon) ditetapkan permulaan perhitungan Kalender Jawa, bertepatan tanggal 21 Juni 78 Masehi. Kalender Jawa memakai pedoman peredaran Matahari (Solar).
Prabu Ajisaka adalah asli orang Jawa bukan dari India, serta memiliki banyak nama atau gelar, yaitu: Prabu Jaka Sangkala, Prabu Widayaka, Prabu Sindula, Prabu Sri Maha Punggung III, Ki Ajar Padang III. Salah satu petilasannya ada di Mrapen (Api Abadi) daerah Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. Bukti kalau Ajisaka asli Jawa adalah :
Bertepatan tanggal 21 Juni 77 M oleh Prabu Ajisaka atau Prabu Sri Maha Punggung III melakukan kembali perubahan aksara dan kalender Jawa, dalam budaya Jawa ketika menghitung selalu dimulai dari angka nol (Das), sehingga Kalender Jawa kembali bermulai pada tanggal 1 Badrawarna (Suro) tahun Sri Harsa, Windu Kuntara adalah tanggal 1, Bulan 1, Tahun 1, Windu 1 tepat pada hari Radite Kasih (Minggu Kliwon) ditetapkan permulaan perhitungan Kalender Jawa, bertepatan tanggal 21 Juni 78 Masehi. Kalender Jawa memakai pedoman peredaran Matahari (Solar).
Prabu Ajisaka adalah asli orang Jawa bukan dari India, serta memiliki banyak nama atau gelar, yaitu: Prabu Jaka Sangkala, Prabu Widayaka, Prabu Sindula, Prabu Sri Maha Punggung III, Ki Ajar Padang III. Salah satu petilasannya ada di Mrapen (Api Abadi) daerah Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. Bukti kalau Ajisaka asli Jawa adalah :
- Pusaka yang diperebutkan oleh para Pembantunya (Punakawan) adalah Keris, sedangkan sampai detik ini diakui oleh seluruh dunia bahwa Keris adalah asli budaya Jawa,. Karena kalau seandainya Ajisaka dari India tentunya di India akan banyak ditemukan pusaka Keris yang kuno maupun yang baru.
- Para Pembantu (Punakawan) Ajisaka sebenarnya ada empat (4) orang, bukan dua (2) orang seperti yang selama ini dikenal orang dan kadang diajarkan di bangku sekolah. Dari nama-nama para pembantu (punakawan) Ajisaka ditilik dari bahasa menandakan asli bahasa Jawa Kuna atau Kawi. Sedang Nama-nama Pembantu (Punakawan) Ajisaka adalah :
- Dura : bacanya tetap pakai vokal “a”, karena kalau dibaca pakai vocal “O” artinya akan berubah jauh dan tidak ada keterkaitan atau tidak relevan (duro=bohong). Sedangkan dalam berbagai catatan sejarah bahasa dan sastra Jawa mulai banyak menggunakan vokal “O” pada masa sesudah abad 14-15 terpengaruh sastra Arab. Sedang kalau “Dura” (ra dibaca dengan vokal “A”) dalam bahasa Jawa Kuna berarti “unsur alam dari anasir air “ (Hidrogen), tetapi kalau “Dura” (ra dibaca dengan vokal “O”) artinya “bohong”.
- Sambadha : “badha” kalau dibaca dengan vocal “A” dalam bahasa Jawa Kuna berarti “unsur alam dari anasir api” (Nitrogen), tetapi kalau dibaca dengan vokal “O” (sembodho) artinya “mampu” dan tidak relevan atau tidak ada kaitannya dengan sangkan paraning dumadi maupun sangkan dumadining bhawana.
- Duga : “ga” kalau dibaca dengan vokal “A” dalam bahasa Jawa Kuna berarti “unsur alam dari anasir tanah” (Carbon), tetapi kalau dibaca dengan vokal “O” berarti “pangati-ati” (dugo-kiro) diartikan dalam bahasa Indonesia secara bebas berarti “peringatan & arahan” dan juga tidak relevan dengan sangkan paraning dumadi maupun sangkan dumadining bhawana.
- Prayuga : kalau dibaca dengan vokal “A” bahasa Jawa Kuna berarti “unsur alam dari anasir angin (Oksigen)” , tetapi kalau dibaca “prayugo” artinya “sebaiknya” dan juga tidak relevan dengan sangkan paraning dumadi maupun sangkan dumadining bhawana.
- Semua empat anasir tersebut adalah anasir alam yang ada pada alam semesta atau Jagad Gedhe atau Bhawana Ageng atau Makrokosmos, serta terdapat juga pada tubuh manusia atau Jagad Cilik atau Bhawana Alit atau Mikrokosmos.
- Sedang nama Ajisaka juga asli bahasa Jawa Kuna (Aji-Saka) yang berarti seorang Raja yang mengerti dan mempunyai kemampuan spiritual atau Raja-Pinandhita atau Pemimpin Spiritual. Dengan kata lain adalah seorang pemimpin yang ahli ilmu tata negara, bangsa, masyarakat (kehidupan), sekaligus menguasai tentang agama atau spiritual (hidup). Karena Aji artinya Raja, sedang Saka artinya tiang atau pedoman hidup. Aji Saka berarti seorang raja yang mengerti akan “Hidup” dan “Kehidupan”.
Sehubungan hal tersebut, pada
pasangan (sandangan) aksara Jawa ada simbol-simbol 4 anasir alam, antara lain :
1. Carbon atau Tanah disimbolkan dengan Pepet.
2. Hidrogen atau Air disimbolkan dengan Wulu.
3. Nitrogen atau Api disimbolkan dengan Soco atau Cecek.
4. Oksigen atau Angin disimbolkan dengan Layar.
Di prasasti Candi Borobudhur atau SWAMBHA-BUDHURA, kira-kira pada abad 7-8 Masehi (Candi Borobudhur dibangun selama 104 tahun), Mpu Galian dan Mpu Gunadharma melakukan perubahan atau penyempurnaan kembali aksara Jawa.
Aksara dalam Bausastra Jawa artinya “tulisan gambaring swara utawa wanda” kalau dialihkan dalam bahasa Indonesia berarti tulisan gambar dari suara atau penampilan. Sedangkan dalam bahasa Jawa Kuna aksara dari kata “hak & sara” yang berarti “darbeg-ing galih” arti bebas dalam bahasa Indonesia berarti miliknya hati atau suara hati.
Selama ini makna atau filsafat aksara Jawa yang dipahami oleh masyarakat umum (terutama pada masyarakat pecinta budaya Jawa) banyak sekali dan sangat beragam, tetapi cenderung terkesan “gathuk mathuk” walau dari sisi ilmu sastra masih bisa diterima. Tetapi yang menjadi keprihatinan, seolah-olah meng-amin-i atau menguatkan pandangan minor dari masyarakat umum, terutama generasi muda dan orang-orang yang selama ini membenci budaya Jawa. Kalau budaya Jawa itu identik dengan gathuk-mathuk, gugon-tuhon, klenik, mistik dan apapun yang terkesan tidak rasional dan ilmiah. Padahal kalau kita pelajari budaya Jawa yang benar, ada kata kunci yaitu “kasunyatan lan tinemu ing nalar” atau dengan kata lain “ilmiah dan rasional.
1. Carbon atau Tanah disimbolkan dengan Pepet.
2. Hidrogen atau Air disimbolkan dengan Wulu.
3. Nitrogen atau Api disimbolkan dengan Soco atau Cecek.
4. Oksigen atau Angin disimbolkan dengan Layar.
Di prasasti Candi Borobudhur atau SWAMBHA-BUDHURA, kira-kira pada abad 7-8 Masehi (Candi Borobudhur dibangun selama 104 tahun), Mpu Galian dan Mpu Gunadharma melakukan perubahan atau penyempurnaan kembali aksara Jawa.
Aksara dalam Bausastra Jawa artinya “tulisan gambaring swara utawa wanda” kalau dialihkan dalam bahasa Indonesia berarti tulisan gambar dari suara atau penampilan. Sedangkan dalam bahasa Jawa Kuna aksara dari kata “hak & sara” yang berarti “darbeg-ing galih” arti bebas dalam bahasa Indonesia berarti miliknya hati atau suara hati.
Selama ini makna atau filsafat aksara Jawa yang dipahami oleh masyarakat umum (terutama pada masyarakat pecinta budaya Jawa) banyak sekali dan sangat beragam, tetapi cenderung terkesan “gathuk mathuk” walau dari sisi ilmu sastra masih bisa diterima. Tetapi yang menjadi keprihatinan, seolah-olah meng-amin-i atau menguatkan pandangan minor dari masyarakat umum, terutama generasi muda dan orang-orang yang selama ini membenci budaya Jawa. Kalau budaya Jawa itu identik dengan gathuk-mathuk, gugon-tuhon, klenik, mistik dan apapun yang terkesan tidak rasional dan ilmiah. Padahal kalau kita pelajari budaya Jawa yang benar, ada kata kunci yaitu “kasunyatan lan tinemu ing nalar” atau dengan kata lain “ilmiah dan rasional.
Contoh 1:
Aksara Jawa
|
Bahasa Jawa
|
Bahasa Indonesia
|
HA
|
HAsal Dzat Hyang Suksma Jati
nrangi.
|
Asal mula dari Dzat Tuhan Roh-Jati
yang menerangi.
|
NA
|
NAndho daya prana gung ametha.
|
Menimbun daya nafas kehidupan
agung membentuk.
|
CA
|
CAhya cipta-budi kabeh.
|
Cahya cipta-budi menyeluruh.
|
RA
|
RAsa jajag tyas anggung.
|
Rasa mendasar dalam hati selalu.
|
KA
|
KArsa lancar manrus ngugemi.
|
Berkehendak lancar terus menerus
dan berpegang teguh.
|
DA
|
DAden tuhu ucapnya.
|
Menyalakan api setia pada
ucapannya (jujur).
|
TA
|
TAnsah hamemayu.
|
Senantiasa menjaga dan berbuat
baik.
|
SA
|
SArwindra muji Hyang Suksma.
|
Serba perasa, berfikir dan
beribadah kepada Tuhan.
|
WA
|
WAntu dahat mangunah Gusti
kapundhi.
|
Tak hentinya untuk selalu
menggapai ridho Tuhan dan memujaNya.
|
LA
|
LAntip ruming nestapa.
|
Dengan bijaksana dan semerbak
harumnya rasa keprihatinan.
|
PA
|
PAndomira condhong anggung eling.
|
Pedomannya cenderung senantiasa
waspada dan sadar diri.
|
DHA
|
DHAmang catur sangkan paran kwawa.
|
Memahami makna asal mulanya dan
bagaimana mampunya.
|
JA
|
JA lirwa ing saancase.
|
Jangan lengah akan semua tujuan
dasar semula.
|
YA
|
YA ngayogya tinuntun.
|
Yaitu patut dilakukan dengan
bimbingan.
|
NYA
|
NYAng karya tamaning dumadi.
|
Kearah kebajikan hidup dan rasa
kemanusiaan.
|
MA
|
MArma tinata mbaka.
|
Maka diatur dengan sistematis.
|
GA
|
GAyuh hanyadarum.
|
Cita-cita yang menyeluruh.
|
BA
|
BAkal adi tyas sakeca.
|
Akan membuat indah dan senangnya
hati.
|
THA
|
THArik ning jalmo eling jatining
urip.
|
Tata kecerahan fikir manusia akan
hidup sejati atau sejatinya hidup.
|
NGA
|
NGAngkah ningrat nunggal Hyang.
|
Menggapai keheningan tingkat atas
alam menyatu dengan TUHAN.
|
Contoh 2 :
Aksara Jawa
|
Bahasa Jawa
|
Bahasa Indonesia
|
HA
|
HAng, Hing, Hung, Heng, Hong.
Sabdaning Angin (Howo kang obah).
|
Sesuatu yang awal. Sebab-akibat
dari sabda kehidupan.
|
NA
|
Nitahake, nganakake, ngayomi, lan
nyirnakake.
|
Menciptakan, memelihara, dan
Menghancurkan.
|
CA
|
CAhya, nanging cahyaning Tejo.
|
Cahaya dari intisari Cahaya
(Cahaya Tuhan).
|
RA
|
RAsa, nanging rasaning Urip.
|
Rasa sejati sang hidup.
|
KA
|
Karsa, nanging karsaning Urip.
|
Kehendak sejati sang hidup.
|
DA
|
DAtan sirna sejatining Urip.
|
Sejatinya Hidup tidak akan pernah
sirna (Hidup itu kekal).
|
TA
|
Tumitis awit titis.
|
Terlahir karena kehendak yang
benar dan dikehendaki.
|
SA
|
SAri rasaning sagung gumelar.
|
Sari kehidupan alam semesta.
|
WA
|
Wandita, wahana kang winadi lan
wola-wali.
|
Sesuatu yang unggul, penuh misteri
dan sistematis serta dinamis.
|
LA
|
Lumaris, lumaksana datan kendat
awit jantraning jagad.
|
Semua berjalan dinamis sesuai
dinamika atau kodrat alam.
|
PA
|
PAntio, papan, sasana.
|
Alam tempat Hidup dan kehidupan.
|
DHA
|
DHAwuh, sabda, pangandika.
|
Firman dan sabda Tuhan
|
JA
|
JAgad cilik lan jagad gede.
|
Alam semesta meliputi mikrokosmos,
dan makrokosmos.
|
YA
|
Yekti, sejati.
|
Betul-betul sejatinya hidup dan kehidupan.
|
NYA
|
NYAwiji, manunggal.
|
Menjadi satu kesatuan.
|
MA
|
MArmo.
|
Menjadikan sebab dan akibat.
|
GA
|
GAntio, owah, obah.
|
Perubahan yang dinamis.
|
BA
|
Binuka, kagelar.
|
Terbuka dan tergambar dengan
adanya alam semesta.
|
THA
|
THukul, semi.
|
Selalu tumbuh dan bersemi.
|
NGA
|
NGAkasa, Awang-uwung.
|
Menuju alam awang-uwung (back hold
life) menyatunya Sang Hidup dan Sang Maha Hidup.
|
Makna filsafat aksara Jawa seperti
dua contoh tersebut sangat banyak dan beragam. Beda orang, beda
paham/keyakinan dan beda daerah, beda pula pemahaman atau penjabaran mereka
dengan sistem akronim (singkatan), sehingga kadang cenderung terkesan
gathuk-mathuk.
Karena prinsip dasar dalam budaya Jawa adalah “kasunyatan dan tinemu ing nalar” (ilmiah dan rasional), bukan sekedar gathuk-mathuk. Sekarang kita coba memahami makna filsafat aksara Jawa dengan metode atau paradigma lain.
Karena prinsip dasar dalam budaya Jawa adalah “kasunyatan dan tinemu ing nalar” (ilmiah dan rasional), bukan sekedar gathuk-mathuk. Sekarang kita coba memahami makna filsafat aksara Jawa dengan metode atau paradigma lain.
Aksara Jawa
|
Makna Dasar
|
Makna Bebas
|
HA, NA, CA, RA, KA
|
Ono utusan (ada utusan).
|
Apapun dan siapapun yang ada di
alam semesta ini (makrokosmos dan mikrokosmos), semua adalah utusan Tuhan.
Sehingga manusia, hewan, tumbuhan, virus, tanah, air, api, udara, mahkluk
permanen, semi permanen, abstrak, dll. semua adalah utusan Tuhan.
|
DA, TA, SA, WA, LA
|
Datan bisa swala (tidak bisa
menolak kodrat dan takdir Tuhan).
|
Semua utusan tadi tidak mampu
menolak dari semua kehendak Tuhan, sehingga sebagai utusan Tuhan harus
menjalankan kodrat alam yang merupakan manifestasi dari kekuasaan Tuhan.
Contoh : manusia harus menjalankan kodrat dan takdirnya sebagai manusia, ikan
harus menjalankan kodrat dan takdirnya sebagai ikan, burung harus menjalankan
kodrat dan takdirnya sebagai burung, dll.
|
PA, DHA, JA, YA, NYA
|
Semua diberi kekuatan dan bekal
sesuai dengan kodrat dan takdir sebagai utusan Tuhan.
|
|
MA, GA BA, THA, NGA
|
Urip iki bathangan (hidup ini
adalah misteri dan teka-teki).
|
Hidup ini merupakan misteri dan
teka-teki dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sehingga sebagai utusan Tuhan
harus mampu mencari Jatidiri dan menjadi diri sendiri sesuai dengan kodrat
dan takdirnya. Diharapkan kalau sebagai utusan Tuhan ,mampu mengerti Hidup
Sejati tentu akan terjadi komunikasi yang intens antara Sang Hidup
(utusan/caraka) dengan Sang Maha Hidup (Tuhan)
|
Selain pemahaman tersebut diatas,
ada makna lain yang sangat tinggi nilai filosofinya, yaitu : semua aksara Jawa
“dipangku” mati dan akan berubah atau berganti makna maupun arti, kecuali
aksara JA dan WA. Maksudnya : siapapun kita, apapun agama atau suku kita,
apapun kedudukan kita, seberapa tinggi kekuasaan kita, seberapa tinggi
kepandaian kita, kalau dipangku oleh situasi dan kondisi tersebut masih “mati”
jiwa kita berarti kita belum JAWA. Dengan kata lain bisa diartikan JAWA adalah
“sesuatu yang tidak pernah mati”, atau SPIRIT ALWAYS OF LIFE atau jiwa yang
tidak pernah mati. Sehingga kalau kita betul-betul mempelajari Jawa akan kita
temukan pengertian : Spirit Of Java (Jiwa Jawa), Javanese culture (Budaya
Jawa), Javanologi (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Jawa maupun budaya
Jawa).
Pada waktu jaman Kerajaan Mataram Islam dipimpin oleh Sultan Agung Hanyakra Kusuma, waktu itu ada ancaman pengaruh bangsa asing (VOC) yang sudah menguasai Sunda Kelapa (Batavia) sangat besar dan terasa mengancam keselamatan rakyat maupun kedaulatan Negara. Sehingga terpikir bagaimana membuat rakyatnya rukun dan bersatu yaitu dengan cara meng-Akulturasi-kan tiga ungsur budaya yang ada pada waktu itu (Jawa, Hindhu, Islam), disimboliskan pada bentuk perubahan Kalender Jawa. Tetapi karena berbeda pedoman dasar peredaran yaitu Matahari (Solar) untuk kalender Jawa dan kalender Hindhu, sedangkan Bulan (Lunar) untuk kalender Hijriah, sehingga walaupun disatukan (khususnya Kalender Jawa dan Kalender Hijriah) dengan cara dihilangkannya satu masa Kalender Jawa (4 windu), tetapi walau begitu tetap saja berselisih satu hari. Karena hal ini pula akhirnya muncullah istilah tahun ABOGE (tahun Alip, tgl 1 Suro jatuh hari Rebo Wage) dan tahun ASAPON (tahun Alip, tgl. 1 Suro jatuh hari Seloso Pon).Perubahan ini bertepatan tanggal 1 Muharram 1043 H = 29 Besar 1554 Jawa = 8 Juli 1633 M.
Sekarang masa Sultan Agung sudah lama berselang, banyak kalangan yang berpendapat kalau aksara dan kalender Jawa sudah waktunya perlu diadakan perubahan atau penyesuaian dengan perkembangan jaman, supaya tetap elegan dan flexibel di segala jaman. Tetapi supaya tetap tidak kehilangan roh atau jatidiri, dalam mengadakan perubahan tersebut jangan merubah makna dan filsafat aslinya, seperti yang terjadi dalam sejarah terjadinya perubahan aksara dan kalender Jawa, walau perubahan tersebut berkali-kali, tetapi tetap tidak merubah makna dan filsafat aslinya. Barangkali karena perubahan yang dilakukan Sultan Agung Hanyakrakusuma cukup signifikan, sehingga mengakibatkan keterpurukan bangsa ini semakin parah sejak runtuhnya Majapahit, dan sampai sekarang keterpurukan itu belum pulih karena akibat dari hilangnya Jatidiri bangsa ini. Sementara itu, mulai masa Sultan Agung sampai sekarang, belum ada yang berani melakukan perubahan atau penyesuaian. Ada yang berpendapat kalau kalender Jawa seharusnya setiap 75 tahun sekali harus diadakan penyesuaian. Ada yang berpendapat, kalau sekarang dekade perhitungan tahun ABOGE sudah berakhir dan sudah seharusnya diganti decade perhitungan tahun ASOPON. Terlepas dari berbagai pendapat tersebut, lebih baik demi kembalinya sebuah Jati Diri bangsa, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang punya dan kuat JATI DIRI-nya. lebih baik kita kembali pada Kalender Jawa asli yang diciptakan oleh Mpu Hubayun (911 SM) dan kita usahakan menjadi kalender nasional atau bahkan kalender internasional, karena Jawa adalah Global genius, bukan Local genius. Dengan pertimbangan :
Pada waktu jaman Kerajaan Mataram Islam dipimpin oleh Sultan Agung Hanyakra Kusuma, waktu itu ada ancaman pengaruh bangsa asing (VOC) yang sudah menguasai Sunda Kelapa (Batavia) sangat besar dan terasa mengancam keselamatan rakyat maupun kedaulatan Negara. Sehingga terpikir bagaimana membuat rakyatnya rukun dan bersatu yaitu dengan cara meng-Akulturasi-kan tiga ungsur budaya yang ada pada waktu itu (Jawa, Hindhu, Islam), disimboliskan pada bentuk perubahan Kalender Jawa. Tetapi karena berbeda pedoman dasar peredaran yaitu Matahari (Solar) untuk kalender Jawa dan kalender Hindhu, sedangkan Bulan (Lunar) untuk kalender Hijriah, sehingga walaupun disatukan (khususnya Kalender Jawa dan Kalender Hijriah) dengan cara dihilangkannya satu masa Kalender Jawa (4 windu), tetapi walau begitu tetap saja berselisih satu hari. Karena hal ini pula akhirnya muncullah istilah tahun ABOGE (tahun Alip, tgl 1 Suro jatuh hari Rebo Wage) dan tahun ASAPON (tahun Alip, tgl. 1 Suro jatuh hari Seloso Pon).Perubahan ini bertepatan tanggal 1 Muharram 1043 H = 29 Besar 1554 Jawa = 8 Juli 1633 M.
Sekarang masa Sultan Agung sudah lama berselang, banyak kalangan yang berpendapat kalau aksara dan kalender Jawa sudah waktunya perlu diadakan perubahan atau penyesuaian dengan perkembangan jaman, supaya tetap elegan dan flexibel di segala jaman. Tetapi supaya tetap tidak kehilangan roh atau jatidiri, dalam mengadakan perubahan tersebut jangan merubah makna dan filsafat aslinya, seperti yang terjadi dalam sejarah terjadinya perubahan aksara dan kalender Jawa, walau perubahan tersebut berkali-kali, tetapi tetap tidak merubah makna dan filsafat aslinya. Barangkali karena perubahan yang dilakukan Sultan Agung Hanyakrakusuma cukup signifikan, sehingga mengakibatkan keterpurukan bangsa ini semakin parah sejak runtuhnya Majapahit, dan sampai sekarang keterpurukan itu belum pulih karena akibat dari hilangnya Jatidiri bangsa ini. Sementara itu, mulai masa Sultan Agung sampai sekarang, belum ada yang berani melakukan perubahan atau penyesuaian. Ada yang berpendapat kalau kalender Jawa seharusnya setiap 75 tahun sekali harus diadakan penyesuaian. Ada yang berpendapat, kalau sekarang dekade perhitungan tahun ABOGE sudah berakhir dan sudah seharusnya diganti decade perhitungan tahun ASOPON. Terlepas dari berbagai pendapat tersebut, lebih baik demi kembalinya sebuah Jati Diri bangsa, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang punya dan kuat JATI DIRI-nya. lebih baik kita kembali pada Kalender Jawa asli yang diciptakan oleh Mpu Hubayun (911 SM) dan kita usahakan menjadi kalender nasional atau bahkan kalender internasional, karena Jawa adalah Global genius, bukan Local genius. Dengan pertimbangan :
- Kalender Jawa Mpu Hubayun adalah Kalender Jawa asli dan yang pertama atau tertua (911 SM).
- Kalender yang penuh dengan nilai-nilai falsafah tinggi, yang menandakan bangsa kita adalah bangsa yang besar. Sehingga kalau bisa kalender Jawa diangkat menjadi Kalender Nasional bangsa Indonesia. Karena tidak semua bangsa di dunia memiliki kalender sendiri.
- Kalender yang mengarah pada keselarasan atau keharmonian alam semesta, karena berdasarkan proses awal terjadinya alam semesta (Sangkan Dumadining Bhawana).
- Kalender Jawa yang selaras dengan aksara Jawa, Sangkan Dumadining Bhawana dan Sangkan paraning Dumadi.
- Satu-satunya kalender di dunia yang mengakomodasi sifat-sifat makrokosmos dan mikrokosmos, sehingga tidak sekedar kalender yang hanya memakai hitungan angka.
- Kalender Jawa harus berdiri diatas semua golongan (agama,suku). Karena makna kata JAWA itu sendiri tidak bermakna sukuisme maupun kedaerahan (teritorial). Sedangkan Kalender Jawa Sultan Agung, selain adanya polemik dengan berbagai pendapat yang berbeda juga terlalu banyak mengadopsi pengaruh Islam. Sehingga orang yang tidak memeluk agama Islam, muncul perasaan tidak merasa ikut memiliki, sedang pemeluk agama Islam juga banyak yang tidak merasa memiliki karena dianggapnya peninggalan agama Hindhu. Semua itu berakibat hilangnya nilai-nilai kebersamaan, gotong-royong, guyub-rukun, yang menjadi ciri-khas bangsa kita. Akibatnya sekarang ini banyak orang yang sudah tidak mengenal lagi atau sudah tidak peduli pada Kalender Jawa, aksara Jawa dan Budaya Jawa.
Demikian sekilas tentang sejarah dan
filsafat aksara Jawa, yang mana disini juga kami sampaikan tentang kalender
Jawa walau hanya sekilas pandang, karena memang saling terkait. Semoga bisa
mendatangkan manfaat dalam hidup dan kehidupan kita.
RAHAYU….!!
RAHAYU….!!
what-is-java.org/sejarah-filsafat-aksara-dan-kalender...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar